LAPORAN PENDAHULUAN DEMENSIA
A. PENGERTIAN
Ø Demensia
merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa
gangguan kesadaran. Gangguan fungsi kognitif antara lain pada intelegensi,
belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi,
perhatian dan konsentrasi, penyesuaian, dan kemampuan bersosialisasi. (Arif
Mansjoer, 1999)
Ø Demensia adalah
gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi vegetatif atau keadaan yang
terjadi. Memori, pengetahuan umum, pikiran abstrak, penilaian, dan interpretasi
atas komunikasi tertulis dan lisan dapat terganggu. (Elizabeth J. Corwin, 2009)
Ø Demensia adalah
penurunan fungsi intelektual yang menyebabkan hilangnya independensi sosial.
(William F. Ganong, 2010)
Ø Menurut Grayson
(2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan
kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Ø
Demensia adalah sindroma klinis yang
meliputi hilangnya fungsi intelektual dan memori yang sedemikian berat sehingga
menyebabkan disfungsi hidup sehari -hari. Demensia merupakan keadaan ketika
seseorang mengalami penurunan daya ingat dan daya pikir lain yang secara nyata
mengganggu aktivitas kehidupan sehari hari (Nugroho, 2008).
Ø Demensia dapat
diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita Demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavior symptom) yang menganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptif) (Voicer. L., Hurley, A.C., Mahoney, E.1998).
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita Demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavior symptom) yang menganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptif) (Voicer. L., Hurley, A.C., Mahoney, E.1998).
Ø Jadi, Demensia
adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan,
dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk
memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian. Penyakit
yang dapat dialami oleh semua orang dari berbagai latar belakang
pendidikan maupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat perawatan khusus untuk
demensia, namun perawatan untuk menangani gejala boleh dilakukan.
B. ETIOLOGI
1. Penyebab utama
dari penyakit demensia adalah penyakit alzheimer, yang penyebabnya sendiri
belum diketahui secara pasti, namun diduga penyakit Alzheimer disebabkan karena
adanya kelainan faktor genetik atau adanya kelainan gen tertentu. Pada penyakit
alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi
kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan
sinyal di dalam otak. Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak
senilis dan serabut saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa
terlihat pada otopsi.
2. Penyebab kedua
dari Demensia yaitu, serangan stroke yang berturut-turut. Stroke tunggal yang
ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang
timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan
jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran
darah yang disebut dengan infark. Demensia yang disebabkan oleh stroke kecil
disebut demensia multi-infark. Sebagian penderitanya memiliki tekanan
darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh
darah di otak.
3. Penyebab
demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar :
a. Sindroma
demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal kelainan yaitu :
terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim, atau
pada metabolisme
b. Sindroma
demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati, penyebab
utama dalam golongan ini diantaranya :
1) Penyakit
degenerasi spino-serebelar.
2) Subakut
leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
3) Khorea
Huntington
c. Sindoma
demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan ini
diantaranya :
1) Penyakit
cerebro kardiofaskuler
2) penyakit-
penyakit metabolik
3) Gangguan
nutrisi
4) Akibat
intoksikasi menahun
C.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan Gejala dari Penyakit Demensia antara lain :
1.
Rusaknya seluruh jajaran fungsi
kognitif.
2.
Awalnya gangguan daya ingat jangka
pendek.
3.
Gangguan kepribadian dan perilaku (mood
swings).
4.
Defisit neurologi dan fokal.
5.
Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi
dan kejang.
6.
Gangguan psikotik : halusinasi, ilusi,
waham, dan paranoid.
7.
Keterbatasan dalam ADL (Activities of
Daily Living)
8.
Kesulitan mengatur penggunaan keuangan.
9.
Tidak bisa pulang kerumah bila
bepergian.
10.
Lupa meletakkan barang penting.
11.
Sulit mandi, makan, berpakaian dan
toileting.
12.
Mudah terjatuh dan keseimbangan buruk.
13.
Tidak dapat makan dan menelan.
14.
Inkontinensia urine
15.
Dapat berjalan jauh dari rumah dan
tidak bisa pulang.
16.
Menurunnya daya ingat yang terus
terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian keseharian yang tidak
bisa lepas.
17.
Gangguan orientasi waktu dan tempat,
misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat penderita demensia berada
18.
Penurunan dan ketidakmampuan menyusun
kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah
kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
19.
Ekspresi yang berlebihan, misalnya
menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi, marah besar pada
kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak
beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan
tersebut muncul.
20.
Adanya perubahan perilaku, seperti :
acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah
D.
KLASIFIKASI DEMENSIA
1. Menurut
Kerusakan Struktur Otak
a. Tipe Alzheimer
Alzheimer adalah kondisi dimana sel saraf pada otak
mengalami kematian sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di
transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer
mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan
proses berpikir. Sekitar 50-60% penderita demensia disebabkan karena penyakit
Alzheimer.
Demensia ini ditandai dengan gejala :
1) Penurunan
fungsi kognitif dengan onset bertahap dan progresif,
2) Daya ingat
terganggu, ditemukan adanya : afasia, apraksia, agnosia, gangguan fungsi
eksekutif,
3) Tidak mampu
mempelajari / mengingat informasi baru,
4) Perubahan
kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),
5) Kehilangan
inisiatif.
Penyakit Alzheimer dibagi atas 3 stadium berdasarkan
beratnya deteorisasi intelektual :
1) Stadium I
(amnesia)
a)
Berlangsung 2-4 tahun
b)
Amnesia menonjol
c)
Perubahan emosi ringan
d)
Memori jangka panjang baik
e)
Keluarga biasanya tidak terganggu
2) Stadium II
(Bingung)
a) Berlangsung 2 –
10 tahun
b) Episode
psikotik
c) Agresif
d) Salah mengenali
keluarga
3) Stadium III
(Akhir)
a) Setelah 6 - 12
tahun
b) Memori dan
intelektual lebih terganggu
c) Membisu dan
gangguan berjalan
d) Inkontinensia
urin
b. Demensia
Vascular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi
darah di otak dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat
terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di otak
akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi dapat diduga sebagai
demensia vaskular.
Tanda-tanda neurologis fokal seperti :
1) Peningkatan
reflek tendon dalam
2) Kelainan gaya
berjalan
3) Kelemahan
anggota gerak
2. Menurut Umur:
a. Demensia
senilis ( usia >65tahun)
b. Demensia
prasenilis (usia <65tahun)
3. Menurut
perjalanan penyakit :
a. Reversibel (mengalami
perbaikan)
b. Ireversibel
(Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit.B, Defisiensi,
Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel
dengan meningkatnya cairan serebrospinalis, hal ini menyebabkan adanya :
1) Gangguan gaya
jalan (tidak stabil, menyeret).
2) Inkontinensia
urin.
3) Demensia.
4. Menurut sifat
klinis:
a. Demensia
proprius
b. Pseudo-demensia
C. PATOFISIOLOGI
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia (usia
>65 tahun) adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga
mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Lansia penderita demensia tidak
memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia
pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal
dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit untuk mengingat dan sering
lupa jika meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal
tersebut dan meyakinkan bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka.
Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal
bersama mereka, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang
semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia
kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah
masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa
depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif.
Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan
biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia
menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Disinilah keluarga
membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit dimana demensia bukanlah
menjadi hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan
dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk dapat mengkaji ddan mengenali gejala demensia.
Faktor Psikososial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat
dipengaruhi oleh faktor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan
pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi
deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset)
menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami
awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan memperburuk
gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan
mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami
gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek
kognitifnya akan menghilang.
D. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang : (Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003)
1. Pemeriksaan
laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis
klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya
pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah
demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium
rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan
antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium
darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam
pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak
memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada
Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks
periodik.
4. Pemeriksaan
cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan
demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen
dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis
(+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan
genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut
lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon
4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi
epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe
sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.
6. Pemeriksaan
neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status
mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya.
(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003) Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk
sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi
kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan
neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk
membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan
neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Mampu menyaring
secara cepat suatu populasi
b. Mampu mengukur
progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia.
7. Sebagai suatu
esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling
banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002
;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan.
(Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang
paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik
dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan
kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan
mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan
tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai
MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).
Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia
18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk
yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan
22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun.Clinical Dementia Rating (CDR)
merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini
juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam
beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR
berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan
keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan
diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat
penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan
kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan
derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang
dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. (Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001)
E. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak
dapat disembuhkan.
a. Untuk mengobati
demensia alzheimer digunakan obat - obatan antikoliesterase seperti Donepezil , Rivastigmine , Galantamine , Memantine
b. Dementia
vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti Aspirin , Ticlopidine , Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah
ke otak sehingga memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena
stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi perkembangannya bisa
diperlambat atau bahkan dihentikan dengan mengobati tekanan darah tinggi atau
kencing manis yang berhubungan dengan stroke.
d. Jika hilangnya
ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-depresi seperti Sertraline dan Citalopram.
e. Untuk
mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa menyertai
demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-psikotik (misalnya Haloperidol , Quetiapine dan Risperidone). Tetapi obat ini kurang
efektif dan menimbulkan efek samping yang serius. Obat anti-psikotik efektif
diberikan kepada penderita yang mengalami halusinasi atau paranoid.
2. Dukungan atau
Peran Keluarga
a. Mempertahankan
lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap memiliki orientasi.
Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding dengan angka-angka yang
besar atau radio juga bisa membantu penderita tetap memiliki orientasi.
b. Menyembunyikan
kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa membantu mencegah terjadinya
kecelekaan pada penderita yang senang berjalan-jalan.
c. Menjalani
kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya secara rutin, bisa
memberikan rasa keteraturan kepada penderita.
d. Memarahi atau
menghukum penderita tidak akan membantu, bahkan akan memperburuk keadaan.
e. Meminta bantuan
organisasi yang memberikan pelayanan sosial dan perawatan, akan sangat
membantu.
3. Terapi
Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi
simtomatik, meliputi :
a. Diet
b. Latihan fisik
yang sesuai
c. Terapi
rekreasional dan aktifitas
d. Penanganan
terhadap masalah-masalah
F. PENCEGAHAN DAN
PERAWATAN DEMENSIA
Hal yang dapat kita lakukan untuk
menurunkan resiko terjadinya demensia diantaranya adalah menjaga ketajaman daya
ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak, seperti :
1. Mencegah
masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol dan zat
adiktif yang berlebihan.
2. Membaca buku
yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan setiap hari.
3. Melakukan
kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif :
a. Kegiatan rohani
& memperdalam ilmu agama.
b. Tetap
berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang memiliki persamaan
minat atau hobi
4. Mengurangi
stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam kehidupan
sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
DEMENSIA
1. Sindrom stress
relokasi berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
ditandai dengan kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah
tersinggung, tingkah laku defensive, kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan
tingkah laku agresif.
2. Perubahan
proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis (degenerasi neuron
ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau memori, hilang konsentrsi,
tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
3. Perubahan
persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi atau
integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu berkomunikasi, gangguan
tidur, nyeri) ditandai dengan cemas, apatis, gelisah, halusinasi.
4. Perubahan pola
tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan ditandai dengan keluhan
verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus terjaga, tidak mampu menentukan
kebutuhan/ waktu tidur.
5. Kurang
perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas, menurunnya daya tahan
dan kekuatan ditandai dengan penurunan kemampuan melakukan aktivitas
sehari-hari.
6. Resiko terhadap
cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan, kelemahan, otot tidak
terkoordinasi, aktivitas kejang.
7. Resiko terhadap
perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mudah lupa,
kemunduran hobi, perubahn sensori.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
No Dx
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien
dapat beradaptasi dengan perubahan aktivitas sehari- hari dan lingkungan
dengan KH :
a.
mengidentifikasi perubahan
b.
mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan
aktivitas kehidupan sehari-hari
c.
cemas dan takut berkurang
d. membuat
pernyataan yang positif tentang lingkungan yang baru.
|
a.
Jalin hubungan saling mendukung dengan klien.
b.
Orientasikan pada lingkungan dan rutinitas baru.
c.
Kaji tingkat stressor (penyesuaian diri, perkembangan,
peran keluarga, akibat perubahan status kesehatan)
d. Tentukan
jadwal aktivitas yang wajar dan masukkan dalam kegiatan rutin.
e.
Berikan penjelasan dan informasi yang menyenangkan
mengenai kegiatan/ peristiwa.
|
a)
Untuk membangan kepercayaan dan rasa nyaman.
b) Menurunkan
kecemasan dan perasaan terganggu.
c)
Untuk menentukan persepsi klien tentang kejadian dan
tingkat serangan.
c) Konsistensi
mengurangi kebingungan dan meningkatkan rasa kebersamaan.
e)
Menurunkan ketegangan, mempertahankan rasa saling
percaya, dan orientasi.
|
2
|
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien
mampu mengenali perubahan dalam berpikir dengan KH:
a.
Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani
konsekuensi kejadian yang menegangkan terhadap emosi dan pikiran tentang
diri.
b.
Mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan
diri yang negative.
c.
Mampu mengenali tingkah laku dan faktor penyebab.
|
a.
Kembangkan lingkungan yang mendukung dan hubungan
klien-perawat yang terapeutik.
b.
Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang.
c.
Tatap wajah ketika berbicara dengan klien.
d. Panggil klien
dengan namanya.
e.
Gunakan suara yang agak rendah dan berbicara dengan
perlahan pada klien.
|
a.
Mengurangi kecemasan dan emosional.
b. Kebisingan
merupakan sensori berlebihan yang meningkatkan gangguan neuron.
c. Menimbulkan perhatian, terutama pada
klien dengan gangguan perceptual.
d. Nama adalah
bentuk identitas diri dan menimbulkan pengenalan terhadap realita dan klien.
e. Meningkatkan
pemahaman. Ucapan tinggi dan keras menimbulkan stress yg mencetuskan
konfrontasi dan respon marah.
|
3
|
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan
perubahan persepsi sensori klien dapat berkurang atau terkontrol dengan KH:
a.
Mengalami penurunan halusinasi.
b.
Mengembangkan strategi psikososial untuk mengurangi
stress.
c.
Mendemonstrasikan respons yang sesuai stimulasi.
|
a.
Kembangkan lingkungan yang suportif dan hubungan
perawat-klien yang terapeutik.
b.
Bantu klien untuk memahami halusinasi.
c.
Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan
bagaiman hal tersebut mempengaruhi klien termasuk penurunan penglihatan atau
pendengaran.
d. Ajarkan
strategi untuk mengurangi stress.
e.
Ajak piknik sederhana, jalan-jalan keliling rumah
sakit. Pantau aktivitas.
|
a.
Meningkatkan kenyamanan dan menurunkan kecemasan pada
klien.
b. Meningkatkan
koping dan menurunkan halusinasi.
c.
Keterlibatan otak memperlihatkan masalah yang bersifat
asimetris menyebabkan klien kehilangan kemampuan pada salah satu sisi tubuh.
c. Untuk
menurunkan kebutuhan akan halusinasi.
e.
Piknik menunjukkan realita dan memberikan stimulasi
sensori yang menurunkan perasaan curiga dan halusinasi yang disebabkan
perasaan terkekang.
|
4
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak
terjadi gangguan pola tidur pada klien dengan KH :
a.
Memahami faktor penyebab gangguan pola tidur.
b.
Mampu menentukan penyebab tidur inadekuat.
c.
Melaporkan dapat beristirahat yang cukup.
d. Mampu
menciptakan pola tidur yang adekuat.
|
a.
Jangan menganjurkan klien tidur siang apabila berakibat
efek negative terhadap tidur pada malam hari.
b.
Evaluasi efek obat klien (steroid, diuretik) yang
mengganggu tidur.
c.
Tentukan kebiasaan dan rutinitas waktu tidur
malam dengan kebiasaan klien(memberi susu hangat).
d.
Memberikan lingkungan yang nyaman untuk meningkatkan
tidur(mematikan lampu, ventilasi ruang adekuat, suhu yang sesuai, menghindari
kebisingan).
e.
Buat jadwal tidur secara teratur. Katakan pada klien
bahwa saat ini adalah waktu untuk tidur.
|
a.
Irama sirkadian (irama tidur-bangun) yang
tersinkronisasi disebabkan oleh tidur siang yang singkat.
b. Deragement
psikis terjadi bila terdapat panggunaan kortikosteroid, termasuk perubahan
mood, insomnia.
c.
Mengubah pola yang sudah terbiasa dari asupan makan
klien pada malam hari terbukti mengganggu tidur.
d. Hambatan
kortikal pada formasi reticular akan berkurang selama tidur, meningkatkan
respon otomatik, karenanya respon kardiovakular terhadap suara meningkat
selama tidur.
e.
Penguatan bahwa saatnya tidur dan mempertahankan
kesetabilan lingkungan.
|
5
|
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien
dapat merawat dirinya sesuai dengan kemampuannya dengan KH :
a.
Mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan
tingkat kemampuan.
b.
Mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber pribadi/
komunitas yang dapat memberikan bantuan.
|
a.
Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan
diri, seperti: keterbatasan gerak fisik, apatis/ depresi, penurunan kognitif
seperti apraksia.
b.
Identifikasi kebutuhan kebersihan diri dan berikan
bantuan sesuai kebutuhan dengan perawatan rambut/kuku/ kulit, bersihkan kaca
mata, dan gosok gigi.
c.
Perhatikan adanya tanda-tanda nonverbal yang
fisiologis.
d. Beri banyak
waktu untuk melakukan tugas.
e.
Bantu mengenakan pakaian yang rapi dan indah.
|
a.
Memahami penyebab yang mempengaruhi intervensi. Masalah
dapat diminimalkan dengan menyesuaikan atau memerlukan konsultasi dari ahli
lain.
b.
Seiring perkembangan penyakit, kebutuhan kebersihan
dasar mungkin dilupakan.
c. Kehilangan
sensori dan penurunan fungsi bahasa menyebabkan klien mengungkapkan kebutuhan
perawatan diri dengan cara nonverbal, seperti terengah-engah, ingin berkemih
dengan memegang dirinya.
d. Pekerjaan
yang tadinya mudah sekarang menjadi terhambat karena penurunan motorik dan
perubahan kognitif.
e.
Meningkatkan kepercayaan untuk hidup.
|
6
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
Risiko cedera tidak terjadi dengan KH :
a.
Meningkatkan tingkat aktivitas.
b.
Dapat beradaptasi dengan lingkungan untuk mengurangi
risiko trauma/ cedera.
c.
Tidak mengalami cedera.
|
a.
Kaji derajat gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive
dan penurunan persepsi visual. Bantu keluarga mengidentifikasi risiko
terjadinya bahaya yang mungkin timbul.
b.
Hilangkan sumber bahaya lingkungan.
c.
Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi/ berbahaya,
memenjat pagar tempat tidur.
d. Kaji efek
samping obat, tanda keracunan (tanda ekstrapiramidal, hipotensi ortostatik,
gangguan penglihatan, gangguan gastrointestinal).
e.
Hindari penggunaan restrain terus-menerus. Berikan
kesempatan keluarga tinggal bersama klien selama periode agitasi akut.
|
a.
Mengidentifikasi risiko di lingkungan dan mempertinggi
kesadaran perawat akan bahaya. Klien dengan tingkah laku impulsi berisiko
trauma karena kurang mampu mengendalikan perilaku. Penurunan persepsi visual
berisiko terjatuh.
b. Klien dengan
gangguan kognitif, gangguan persepsi adalah awal terjadi trauma akibat tidak
bertanggung jawab terhadap kebutuhan keamanan dasar.
c. Mempertahankan
keamanan dengan menghindari konfrontasi yang meningkatkan risiko
terjadinya trauma.
d. Klien yang
tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat dapat menimbulkan kadar toksisitas
pada lansia. Ukuran dosis/ penggantian obat diperlukan untuk mengurangi
gangguan.
e.
Membahayakan klien, meningkatkan agitasi dan timbul
risiko fraktur pada klien lansia (berhubungan dengan penurunan kalsium
tulang).
|
7
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
mendapat nutrisi yang seimbang dengan KH:
a.
Mengubah pola asuhan yang benar
b.
Mendapat diet nutrisi yang seimbang.
c.
Mendapat kembali berat badan yang sesuai.
|
a.
Beri dukungan untuk penurunan berat badan.
b. Awasi berat
badan setiap minggu.
c.
Kaji pengetahuan keluarga/ klien mengenai kebutuhan
makanan.
d.
Usahakan/ beri bantuan dalam memilih menu.
e.
Beri Privasi saat kebiasaan makan menjadi masalah.
|
a.
Motivasi terjadi saat klien mengidentifikasi kebutuhan
berarti.
b.
Memberikan umpan balik/ penghargaan.
c.
Identifikasi kebutuhan membantu perencanaan
pendidikan.
d.
Klien tidak mampu menentukan pilihan kebutuhan nutrisi.
e.
Ketidakmampuan menerima dan hambatan sosial dari
kebiasaan makan berkembang seiring berkembangnya penyakit.
|
DAFTAR PUSTAKA
Brunner &
Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah .Vol 1
& 2. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC :
Jakarta.
Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku
Saku : Patofisiologi. Ed.3. EGC : Jakarta.
Kushariyadi.2010. Askep pada
Klien Lanjut Usia. Salemba medika : Jakarta
Nugroho, Wahjudi. 1999. Keperawatan
Gerontik Edisi 2 Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.
Silvia.A.Price & Wilson, Patofisiologi.
Ed.8. Jakarta. EGC.2006
Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC; Jakarta.
Arjatmo,
(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI
Brunner
& Suddart, (1996). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Capernito,
(2000). Diagnosa Keperawatan, edisi 8.
Jakarta: EGC
Doengoes,
(1999). Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Prince, Loraine M. Wilson, (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit,
edisi 4. Jakarta: EGC
Corwin, J.
Elizabeth, (2001). Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: EGC
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih informasinya.
ReplyDeleteDemensia adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi vegetatif atau keadaan yang terjadi. Memori, Pengetahuan Umum, pikiran abstrak, penilaian, dan interpretasi atas komunikasi tertulis dan lisan dapat terganggu. (Elizabeth J. Corwin, 2009)